Pada usaha ternak ruminansia (sapi potong, sapi perah, kambing dan domba) bibit merupakan komponen biaya yang relatif besar (Ilham dan Saktyanu, 1995). Disamping itu, sebagai unit industri biologis yang mampu merubah material relatif kurang bernilai (pakan) menjadi material yang sangat bernilai bagi kehidupan manusia (daging, telur, dan susu), kualitas bibit sangat menentukan tingkat produksi. Bibit ternak yang berkualitas baik dapat dilihat dari tingkat produktivitasnya,antara lain berupa pertambahan berat badan per hari pada ternak potong, produksi susu per ekor per laktasi, dan produksi telur per siklus usaha. Untuk mencapai produktivitas yang tinggi diperlukan kondisi lingkungan yang sesuai dengan kemampuan genetis ternak tersebut, dalam hal ini antara lain jumlah dan kualitas pakan serta lokasi usaha yang sesuai dengan adaptasi hidup ternak.
Hasil studi Hadi dan Ilham (2000) pada usaha sapi potong di Wonosobo dan Grobogan menunjukkan bahwa usaha penggemukan dan pembibitan dengan menggunakan bibit bangsa turunan sapi FH dan Simental memberikan keuntungan yang lebih baik dibandingkan menggunakan bangsa sapi turunan PO dan Simental. Perbedaan tersebut antara lain disebabkan kemampuan sapi tersebut mengkonversi pakan menjadi daging yang diturunkan secara genetik dan didukung oleh manajemen pemeliharaan yang baik sehingga mampu menghasilkan performa produksi yang baik pula. Pada ternak ayam ras potensi genetik bibit ini telah dimanfaatkan dengan baik, namun pada ternak lainnya masih potensial untuk dikembangkan sebagai sumber pertumbuhan subsektor peternakan.
Pakan merupakan aspek penting dalam usaha ternak selain bibit. Pada peternakan ayam ras pedaging biaya pakan merupakan 55,6 – 66,6 persen dari total biaya produksi (Saptana dan Rusastra, 2001). Kondisi ini tidak jauh berbeda pada ayam ras petelur, karena pemanfaatan teknologi pakan sudah sedemikian maju pada usaha ayam ras. Sebaliknya untuk ternak ruminansia, sebagian besar peternak masih menggunakan pakan sesuai dengan potensi yang ada yang pada umumnya berasal dari rumput alam yang dicari atau bahkan dengan melepas ternak pada padang penggembalaan umum yang kualitasnya rendah. Dengan demikian perbaikan pemberian pakan baik dari segi jumlah, mutu, dan teknik penyajiannya diharapkan masih mampu meningkatan efisiensi usaha ternak. Menurut pihak feedlotter, dengan menggunakan kombinasi pakan tertentu, usaha penggemukan sapi potong eks impor yang dilakukannya dan plasmanya mampu menghasilkan pertambahan berat badan per hari yang relatif tinggi, yaitu antara 1,25 hingga 1,50 kg/ekor/hari. Pada usaha penggemukan rakyat yang menggunakan sapi persilangan Simental pertambahan beratnya berkisar 1,18 – 1,32 kg/ekor/ hari (Subiharta et al., 2000). Sementara itu pada kondisi peternakan tradisional pertambahan berat badan hanya berkisar 0,50 kg/ ekor/hari (Ilham dan Saktyanu, 1995). Penelitian Budiarsana dan Haryanto (1997) menunjukkan bahwa walaupun sudah ada upaya perbaikan pakan terhadap Sapi PO, manfaatnya tidak berbeda pada kondisi control. Selain perbaikan mutu pakan, menurut Siregar (1992), frekuensi pemberian pakan lebih dari dua kali sehari dapat meningkatkan konsumsi pakan maupun zat-zat makanan, serta meningkatkan daya cerna terhadap pakan yang pada akhirnya akan meningkatkan produksi susu. Padahal saat ini pemberian pakan tersebut sebagian besar masih dilakukan dua kali sehari, khususnya pada peternak sapi perah di Jawa Timur (Ilham, 2000). Artinya perbaikan manajemen pakan berpotensi untuk meningkatkan efisiensi usaha.
Aspek manajemen antara lain meliputi pola kelembagaan usaha peternakan, skala pengusahaan, dan lokasi usaha. Aspek ini tidak berkaitan langsung dengan teknik produksi ternak, namun berpengaruh terhadap efisiensi usaha ternak yang dilakukan. Keragaman aspek manajemen yang tinggi pada usaha peternakan rakyat merupakan potensi untuk meningkatkan efisiensi usaha peternakan di Indonesia. Pola usaha juga menentukan tingkat manajemen usaha. Peternak yang mengikuti pola kemitraan manajemen usahanya akan lebih baik, karena peternak tidak terlalu memikirkan bagaimana harus mengadakan sarana produksi peternakan dan memasarkan hasil produksi dan juga lebih akses terhadap teknologi yang diterima melalui mitranya. Sebaliknya pada pola mandiri, peternak harus memperhatikan semua aspek agribisnis usahanya, sehingga peluang risiko yang diterima semakin tinggi. Pada usaha ternak ayam ras pola kemitraan ini banyak diaplikasikan dan sudah berkembang. Adanya krisis ekonomi pertengahan 1997 menyebabkan terganggunya usaha ternak ayam ras akibat banyaknya komponen impor yang digunakan pada usaha ini. Namur demikian menurut Saptana dan Rusastra (2000), usaha ternak ayam ras dengan pola kemitraan masih layak untuk dikembangkan walaupun dengan tingkat profitabilitas yang menurun akibat dari krisis tersebut. Pola mandiri sudah tidak layak untuk dikembangkan kecuali pada usaha ayam ras petelur. Kasus pada usaha sapi perah, banyak studi menyatakan bahwa rataan skala pengusahaan sapi perah induk di berbagai sentra produksi susu segar berkisar 2 – 3 ekor tiap peternak. Padahal tingkat efisiensi tertinggi dicapai pada skala pengusahaan 5 – 7 ekor (Swastika et al., 2000). Untuk meningkatkan efisiensi tersebut diperlukan tambahan sapi induk yang dipelihara. Selain disebabkan keterbatasan modal, kendala peningkatan skala usaha adalah terbatasnya pemilikan lahan untuk kandang dan kebun rumput. Untuk mengatasi kendala ini pada beberapa daerah dikembangkan konsep Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) dimana di dalam kawasan tersebut terdapat kandang, kebun rumput dan fasilitas lain yang memadai.
(Dari Berbagai Sumber, Gambar dari : www.randallcounty.org)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar